• admin@kiara-indonesia.org
  • Bogor, Indonesia
Jejak dari Madagaskar: Catatan Perjalanan di Kongres Internasional Primatologi ke-30

Jejak dari Madagaskar: Catatan Perjalanan di Kongres Internasional Primatologi ke-30

Narasi: Rahayu Oktaviani

Madagaskar. Nama yang dulu hanya saya temui di peta dunia, film dokumenter BBC, atau film animasi, kini menjadi latar nyata salah satu pengalaman paling berkesan dalam perjalanan saya sebagai primatologis.

Tahun ini,  perhelatan kongres International Primatological Society (IPS) ke-30 dilaksanakan pada tanggal 20-25 Juli 2025 di Antananarivo (Tana), sebuah kota perbukitan di jantung Madagaskar. Di sini, sejarah monarki, warisan kolonial, dan kehidupan urban berpadu menjadi satu lanskap yang unik yang menarik untuk dijelajahi meski udara musim dingin bulan Juli menusuk kulit.

Suasana riuh pasar di pinggir ibukota Madagaskar
pemandangan kota Antananarivo dari Queen’s Palace

Kongres ini bukan sekadar pertemuan ilmiah. Selama enam hari, lebih dari 700 peserta dari lebih dari 50 negara berkumpul, membawa satu tujuan: memahami, melindungi, dan merawat primata serta habitatnya. Di setiap sudut venue, terdengar campuran bahasa dari berbagai belahan dunia, tawa pertemuan kembali, dan diskusi yang bisa dimulai dari analisis DNA hingga kisah unik di lapangan.

Venue Kongres IPS di Novotel-Antanannarivo dengan ring-tailed lemur sebagai maskotnya
Pembukaan dari Presiden IPS: Jonah Ratsimbazafy: “Primatologists, welcome home!”

Reuni, Pertemuan Baru, dan Koneksi Lintas Benua

IPS selalu menjadi rumah pertemuan “keluarga besar” primatologis dunia. Saya bertemu kembali dengan kawan-kawan lama, beberapa pernah bersama di hutan, beberapa berkolaborasi lewat proyek lintas negara, dan sebagian baru saya kenal lewat layar daring. Kawan-kawan baru dan peneliti muda dengan segala inovasinya terus menginspirasi saya.

Di sela-sela sesi ilmiah, percakapan ringan mengalir: cerita lucu di lapangan, perbandingan tantangan logistik, hingga berbagi tips peralatan penelitian terbaik. Sering kali, ide kolaborasi justru lahir dari momen-momen seperti ini, di sela makan siang atau sambil menggenggam secangkir kopi.

Saya juga berkesempatan bertemu para penerima Whitley Awards yang selama ini hanya saya kenal lewat media sosial, tokoh inspiratif seperti ‘The Gorilla Doctor’ Gladys Kalema, dan kawan-kawan yang dulu mendorong saya untuk mencoba mengirimkan aplikasi Whitley, seperti Inza Koné dan Gabi Rezende.

ExCo Meeting IUCN Primate Specialist Group
Bersama Dr. Gladys yang menginspirasi lewat upaya konservasinya untuk Gorilla dan masyarakat
Para alumni Whitley Awards, bangga sekali bisa menjadi bagian dari keluarga besar ini

Membawa Suara dari Global South

Salah satu pengalaman paling bermakna adalah saat menjadi salah satu penyelenggara lokakarya Primatology from the Global South: Promoting Practices and Collaborations to Strengthen the Discipline in Primate Habitat Countries.

Bersama rekan-rekan dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin, kami membicarakan bagaimana peneliti di negara habitat primata dapat saling menguatkan, mulai dari berbagi sumber daya, membangun jejaring riset, hingga memastikan sains tidak berhenti di jurnal, tetapi pulang ke hutan, desa, dan komunitas.

Kami juga membahas tantangan nyata yang kerap kami hadapi: ketimpangan akses masuk negara (peneliti dari Global North bisa dengan mudah masuk ke negara habitat primata, sementara kami harus melewati proses visa yang rumit dan mahal), atau kesenjangan publikasi ilmiah, di mana tulisan kami dalam bahasa Inggris sering kali harus “divalidasi” oleh penutur asli agar diakui.

Empat jam diskusi menghasilkan strategi prioritas untuk membangun primatologi yang lebih adil dan inklusif. Harapannya, percakapan ini tidak berhenti di ruangan konferensi, tapi menjadi langkah awal perubahan.

Penghargaan untuk Stasiun Riset Citalahab

Tahun ini menjadi istimewa karena Stasiun Riset Citalahab, yang kami kelola bersama tim primata Ewha Womans University, meraih penghargaan kedua dalam EDEI (Equity, Diversity, Equality, and Inclusion) Awards.

Penghargaan ini diberikan untuk inisiatif yang mendorong keberagaman, kesetaraan, dan inklusi dalam primatologi. Juara pertama diraih oleh Mulheres Pela Primatologia dari Brazil, gerakan yang memberdayakan perempuan dalam penelitian primata di Amerika Latin. Bagi kami, posisi kedua di ajang internasional ini adalah pengakuan bahwa kolaborasi yang kami bangun di hutan Jawa punya arti di panggung dunia.

Madagascar di Luar Ruang Konferensi

Datang ke Madagascar tak lengkap tanpa bertemu para penghuninya yang paling terkenal: lemur. Usai kongres, saya ikut post-congress trip ke beberapa habitat primata Madagaskar bersama sekitar 30 primatologis dari berbagai negara, dipandu langsung oleh Russ Mittermeier.

Di sana, saya untuk pertama kalinya melihat diademed sifaka, lemur berwarna emas pucat, melompat dengan teknik vertical leaping yang selama ini hanya saya tonton di dokumenter David Attenborough. Lompatan anggun di antara batang pohon itu terasa seperti tarian di atas panggung hutan. Kami juga beruntung mendengar panggilan Indri indri, lemur besar yang suaranya mengingatkan saya pada nyanyian owa jawa di pagi hari.

Selama perjalanan, saya melihat ancaman yang dihadapi primata di Madagascar, deforestasi, perburuan, fragmentasi habitat sama dengan yang dihadapi primata di Indonesia. Dan di kedua tempat ini, solusi paling kuat selalu berakar pada keterlibatan masyarakat lokal dan penghargaan terhadap keanekaragaman hayati.

Aye-Aye (Daubentonia madagascariensis)
Lac Alaotra Bamboo Lemur (Hapalemur alaotrensis)
Indri (Indri indri) atau babakoto dalam bahasa lokal
Common Brown Lemur (Eulemur fulvus)
Diademed Sifaka (Propithecus diadema)

Pulang dengan Semangat Baru

Saya meninggalkan Madagascar dengan hati penuh rasa Syukur, bukan hanya karena membawa pulang penghargaan, tetapi karena mendapat kesempatan berbagi cerita owa jawa di panggung dunia, membangun koneksi lintas benua, dan pulang dengan ide-ide baru yang siap diterapkan di areal kerja KIARA. Semoga ke depannya, saya bisa membawa tim kami untuk berjejaring dan berbagi di panggung IPS.

IPS Madagaskar menjadi pengingat bahwa konservasi bukan hanya tentang spesies atau habitat, tetapi juga tentang manusia, jaringan, dan harapan. Karena pada akhirnya, kita semua terhubung oleh satu misi: menjaga agar suara primata tak pernah padam.

Terima kasih kepada Whitley Fund for Nature dan IUCN PSG Section on Small Apes atas dukungan yang diberikan sehingga saya dapat hadir di perhelatan primatologis terbesar ini.

0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *