• admin@kiara-indonesia.org
  • Bogor, Indonesia
INGATAN AMBU HALIMUN DALAM LEMBARAN KAIN ECOPRINT

INGATAN AMBU HALIMUN DALAM LEMBARAN KAIN ECOPRINT

Ditulis oleh Rakhmi Fitriani (Seniman tekstil dan Arsitek lanskap)

Pagi di kampung Citalahab Sentral datang lebih lambat, matahari muncul pada pukul 6.30 dari balik bukit yang diselimuti perkebunan teh. Namun mataharinya juga pulang lebih cepat, ujung hari kampung berada di balik kaki gunung Halimun dan puncak-puncak pohon tua. Kampung Citalahab bersarang dekat sumber air, terbelah oleh sungai yang jernih dan berbau kehidupan. Kebanyakan bangunan merupakan rumah panggung yang kayunya berdecit halus ketika kaki melangkah. Jika memandang perkampungan tersebut dari jalan berbatu di atas bukit perkebunan teh, aku bisa melihat batas yang baur antara rumah-rumah dan hutan hujan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berada di dasar lembah yang dikelilingi perbukitan dan terhimpit oleh dua jenis ekosistem, keseharian warga kampung Citalahab Sentral tidak lepas dari alam di sekitarnya.

Hampir semua pekerjaan warga kampung Citalahab Sentral berkaitan erat dengan tanah dan keberkahan alam pegunungan Halimun. Sebagian warga menggarap sawah dan berternak kambing, sebagian warga menjadi buruh perkebunan teh Nirmala, sebagian warga masuk ke hutan untuk menemani turis atau melakukan pengamatan Owa Jawa, dan sebagian kecil Perempuan kampung Citalahab Sentral tergabung dalam sebuah kelompok pengrajin kain ecoprint bernama Ambu Halimun. Tangan cekatan para Ambu terampil membuat kain ecoprint dengan menggunakan tanaman dari pekarangan dan hutan yang tidak jauh dari rumah mereka. Pada usia kelompok ini yang hampir menginjak 5 tahun, Ambu Halimun sudah memproduksi kain ecoprint secara rutin. Komunitas Ambu Halimun diinisiasi dan dibina oleh Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (Kiara) yang juga bergerak di bidang konservasi Owa Jawa. Tidak heran jika produk andalan Ambu Halimun adalah kain ecoprint yang memiliki pola Owa Jawa di dalamnya.

Pertemuan pertamaku dengan para Ambu terjadi pada bulan Januari 2025. Interaksi kami terbilang singkat namun memantik beberapa ide dalam kepalaku. Sepulangnya dari Citalahab Sentral, aku berdiskusikan dengan Kak Ayu (direktur Yayasan Kiara) sehingga tercetus beberapa rencana seperti lokakarya desain pola kain ecoprint dan residensi bancakan yang dilakukan secara patungan dari aku, Yayasan Kiara, dan Ambu Halimun untuk mengarsipkan jenis-jenis tanaman pekarangan dan hutan yang digunakan oleh para Ambu. Kegiatan-kegiatan tersebut terbagi menjadi beberapa kali kunjungan. Lokakarya desain pola kain ecoprint dilaksanakan pada bulan Februari dan menghasilkan beberapa desain pola yang sampai saat ini digunakan oleh para Ambu untuk menambah variasi pola kain ecoprint mereka. Sedangkan residensi bersama Ambu Halimun dilaksanakan selama 12 hari pada bulan Juli. Dari interaksi dengan para Ambu, aku belajar tentang kehidupan dan keseharian masyarakat kampung Citalahab Sentral yang tinggal di dalam Kawasan TNGHS.

***

“Kakak, hayu! Mau ikut nyari Kalayar kan?” panggil Teh Yuli dari luar pagar rumah yang disela oleh kolam ikan. Dari teras, aku melihat lima perempuan bersepatu bot berdiri berdekatan. Pagi itu, matahari baru saja mengintip dari balik bukit Perkebunan teh, menandakan waktu tidak lebih dari pukul 7.00. Kami berencana memasuki hutan untuk mencari Kalayar (Trichosanthes tricuspidata), salah satu jenis tanaman yang dipakai dalam pola ecoprint Ambu Halimun. Tanaman Kalayar merupakan tanaman hutan yang sering mereka gunakan dibanding dengan jenis-jenis tanaman hutan lainnya. Daun Kalayar berbentuk segitiga dan bergerigi serta batang rambatnya memiliki ujung spiral, membuat bentuk Kalayar terlihat unik di antara susunan daun ecoprint yang beragam.

Kami jalan berbaris melewati kandang kambing, kebun cabai milik warga, dan jalan setapak yang diapit oleh tanaman kapulaga. Pada mulanya, perjalanan kami terasa menyenangkan dengan jalur setapak landai dan langit biru cerah. Namun semakin jauh melangkah, hanya sedikit cahaya matahari yang menyentuh lantai hutan, semak-semak semakin rapat, dan jalannya menanjak dengan kemiringan lereng lebih dari 30 derajat. Di antara nafas yang memburu dan langkah kaki yang gontai, aku merasa takzim pada kehidupan di sekelilingku. Remang hutan dengan segala rona hijau dari lantai sampai atapnya, pilar-pilar batang pohon tua, dan tinggi tajuk yang rapat di atas kepalaku, mengisyaratkan wibawa dan kebijaksanaan hidup dari tumpukan waktu jauh sebelum aku lahir. Tidak heran jika interaksi masyarakat di sekitar hutan alami selalu mengisyaratkan rasa hormat dan takut terhadap hutan yang membersamai mereka. Hutan tua membuat manusia sadar bahwa keberadaannya hanya sebagian kecil dari sistem kehidupan yang luas. Pengalaman ini tidak akan terjadi jika saja aku memasuki hutan produksi yang keberadaannya ditata dan diatur oleh manusia.

Aku sudah tidak terbiasa berjalan di hutan yang penuh rintangan sehingga langkahku selalu tersendat dan gagap. Berbeda dengan para Ambu, mereka sangat hapal dengan hutan ini, melangkah dengan percaya diri dan yakin. Tanpa ragu, mereka berjalan keluar dari jalur setapak dan menginjak semak-semak hutan untuk mencari tanaman Kalayar yang menjalari tanah atau batang-batang pohon. Mereka akan berseru memanggil temannya ketika menemukan tanaman tersebut, menariknya dengan hati-hati agar tidak terputus. Salah seorang Ambu bahkan membawa parang untuk mempermudah proses meramban dan memotong semak tinggi yang menjadi rintangan. Bahasa tubuh mereka sudah tidak asing dengan topografi dan tetumbuhannya, mereka tidak sungkan memetik tanaman hutan yang mereka kenal. Selain Kalayar, para Ambu juga meramban tanaman liar untuk mereka masak di rumah.

Setelah merasa cukup, kami memutuskan pulang dengan sekantong Kalayar dan beberapa ikat tanaman liar. Kami sempat bertemu dengan seekor Owa Jawa yang sedang mencari makan pada tajuk pohon di atas kami, sebuah pertemuan biasa yang terjadi bagi masyarakat lokal yang masuk ke hutan. Sebelum kami keluar dari hutan, Teh Yuli mengucapkan sebuah jampi-jampi sunda, disusul dengan setiap orang menyebutkan namanya masing-masing sebagai pertanda pamit kepada para penghuni hutan. Menurut Teh Yuli, hal ini dilakukan agar orang-orang yang keluar dari hutan tidak mendapatkan malapetaka dan sebagai ucapan terima kasih atas hasil bumi yang kami peroleh hari itu.

Perburuan kami tidak hanya berhenti di situ. Pada waktu lain, aku membersamai para Ambu mencari tanaman ke Perkebunan teh Nirmala. Beberapa jenis tanaman ecoprint yang ditemukan di Perkebunan teh Nirmala seperti Hareuga/Ketul (Bidens pilosa), Mintoar/Salamander (Grevillea robusta), dan Mani’i. Semua jenis tanaman ini memiliki zat tanin yang bisa mengeluarkan warna pada kain ecoprint. Tanaman Hareuga mudah didapat karena banyak tumbuh di pinggir jalan dan ruang-ruang sisa. Namun para Ambu membutuhkan alat bantu ajeur/galah ketika memetik daun pohon Mintoar dan Mani’i. Pohon-pohon ini biasa digunakan di perkebunan teh Jawa Barat dan berfungsi sebagai pemecah angin supaya tidak terlalu kencang berhembus.

Kami berniat untuk berangkat pagi demi menghindari terik matahari, maklum tidak banyak pohon peneduh tumbuh di perkebunan teh. Walau begitu, karena setiap anggota Ambu Halimun memiliki kesibukannya masing-masing, akhirnya kami baru berangkat pukul 10.00. Dengan berbekal peralatan tempur yang terdiri dari gunting, tas goody bag, dan galah yang diangkat oleh dua orang, kami mendaki satu-satunya akses masuk kampung berupa jalan berbatu yang curam. Tujuh perempuan Ambu Halimun dibagi menjadi dua kelompok, satu tim masuk ke dalam perkebunan teh untuk memetik Hareuga dan satu tim berjalan menyusuri jalan berbatu untuk mengambil daun pohon Mintoar dan Mani’i. Jelas kelompok kedua ini adalah mereka yang membawa galah, sebuah tongkat bambu setinggi sekitar 2,5 meter dengan gunting tanaman di ujungnya. Aku ikut bersama dengan tim kedua. Selama perjalanan, kami juga ikut mencari tanaman Hareuga dan mencatat beberapa jenis tanaman lain yang mungkin bisa digunakan dalam kain ecoprint seperti Jambrong dan Jonge.

Sebenarnya, pohon Mintoar dan Mani’i banyak tumbuh di sekitar jalan berbatu namun kami mencari pohon yang sekiranya memiliki daun sehat dan mudah dijangkau oleh galah. Setelah berjalan sekitar 15 menit dan bertemu dengan ibu-ibu pemetik teh yang sedang beristirahat, pilihan para Ambu jatuh para sebuah pohon Mintoar di sisi atas jalan. Dengan menantang matahari menyengat pukul 10.00 pagi, dua orang perempuan anggota termuda Ambu Halimun sibuk berdiskusi tentang percabangan pohon mana yang akan mereka gunting. Setelah sepakat tentang batang pohon yang menjadi incaran, mereka berdua mengangkat galah bersamaan dan mengarahkannya pada percabangan pohon tersebut. Mereka tidak hentinya bicara kepada satu sama lain, mengarahkan galah supaya tepat berada di percabangan yang diinginkan. Dan ketika posisi gunting sudah pas, KRES! Dengan sisa tenaga yang ada, seorang dari mereka menarik tali galah dan gunting tertancap pada pangkal batang. Jika dahan pohonnya tebal, mereka terpaksa harus menarik galah sehingga dahan pohon tersebut tertarik dan terlepas dari percabangan dan meninggalkan luka besar pada kulit pohon. 

Kami semua pulang dengan tangan penuh, para Ambu selalu memetik lebih banyak daripada yang dibutuhkan. “Daripada kurang kan kak, susah lagi metiknya” begitu kata salah satu anggota Ambu Halimun. Tanaman ecoprint memang harus dipetik di hari yang sama dengan saat pembuatan kain. Ada beberapa jenis tanaman yang tahan disimpan sehari sebelum pembuatan kain namun para Ambu lebih sering memetik di hari yang sama untuk menghidari potensi layu dan kualitas warna yang berkurang. Sesampainya di kantor sekaligus gudang penyimpanan Ambu Halimun, mereka segera merendam batang-batang tanaman ke dalam sebuah ember berisi air. Proses pembuatan kain akan dilakukan setelah dzuhur sehingga kami punya waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang terjeda. Ada yang pulang untuk mandi, membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian, dan kegiatan rumah tangga lainnya.

Anggota Ambu Halimun terdiri dari 12 perempuan dengan rentang usia beragam, ada yang baru lulus sekolah, yang sudah berumah tangga dan memiliki anak, yang sudah memiliki cucu, yang bekerja di perkebunan teh Nirmala dan perkebunan kopi, yang mengurus rumah singgah untuk para wisatawan, yang mengajar sebagai guru, dan segala posisi berlapis mereka sebagai perempuan. Dengan kepentingan dan keseharian para Ambu yang bermacam-macam, mereka harus menyesuaikan jadwal pengerjaan kain ecoprint agar setiap anggota bisa hadir. Biasanya mereka akan melakukan pembuatan kain ecoprint di siang atau sore hari. Sehari sebelum pengerjaan kain, beberapa anggota Ambu akan merendam kain polos ke dalam larutan mordan dan fiksasi agar kain bisa menyerap zat tanin tanaman dan mempertahankan pola tanaman dalam serat-seratnya. Jika dihitung kasar, pengerjaan kain ecoprint membutuhkan waktu kurang lebih 4-5 hari sampai dia bisa kering dan siap dijual.

“Ini kak, daun bunga tahi kotoknya” ucap Alifah sambil menyerahkan beberapa helai daun ke tanganku, saat itu kami sedang memetik beberapa tanaman ecoprint yang tumbuh di pekarangan rumah. Alifah merupakan salah satu anak dari anggota Ambu Halimun yang masih duduk di bangku SD. Bersama teman-temannya, mereka selalu berkumpul di teras rumah Teh Yuli ketika para Ambu sedang mengerjakan kain ecoprint. mereka memperhatikan para Ambu menyusun daun, menggulung, mengikat dan mengukus gulungan kain. Terkadang mereka juga membantu para Ambu untuk memetik tanaman atau membersihkan daun pada kain ecoprint yang sudah dikukus. Tanpa perlu diajari secara formal, mereka menyerap pengetahuan tentang tanaman ecoprint di sekitar mereka dengan observasi langsung. Mungkin dari sudut pandang mereka sebagai anak-anak, kegiatan memetik bunga dan daun di halaman adalah permainan yang mengasyikan.

Lebih dari sepuluh jenis tanaman ecoprint terkumpul dalam baskom dan wadah yang tersebar di teras rumah penginapannya Teh Yanti. Anggota Ambu Halimun terbagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari tiga orang. Setiap kelompok bertanggung jawab dan bekerja sama untuk menyusun bunga dan dedaunan menjadi pola tertentu serta menggulungnya hingga siap untuk masuk pengukusan kain. Kegiatan membuat ecoprint dimulai dengan merendam kain pada larutan fiksasi. Larutan fiksasi ini hanya terdiri dari kapur dan air sehingga tidak membahayakan lingkungan. Para Ambu mencuci dan membilas kain fiksasi di sungai, dengan air mengalir yang kejernihannya akan sulit terbayangkan bagi masyarakat perkotaan yang tidak pernah pergi ke daerah hulu sungai. Semua anggota Ambu Halimun sibuk, setiap kelompok bertugas membuat 2-3 lembar kain ecoprint dengan beragam ukuran. Aktivitas pembuatan kain ecoprint ini dimulai pukul 13.00, karena menunggu para Ambu yang bekerja sebagai guru dan pekerja perkebunan pulang.

Selama pengerjaan kain, para Ambu saling memanggil, memerintah, meminta tolong, menegur, dan bercanda dengan volume keras, berusaha menyaingi deru air sungai yang sebenarnya sedang cukup bersahabat hari itu. Cuaca sedikit mendung, membuat para Ambu mempercepat proses pencucian kain. Tepat ketika air hujan mulai menetes setitik demi setitik, para Ambu mulai merentangkan kain-kain tersebut di teras rumah. Empat lembar kain menutupi hampir keseluruhan lantai kayu, dengan para Ambu hilir mudik mengumpulkan dedaunan yang hendak mereka susun. Suara decitan kayu terdengar dari berbagai arah, menjadi latar bagi obrolan para Ambu yang berpindah dari satu topik ke topik lainnya. Beberapa ada yang tidak sempat terlibat dalam percakapan dan hanya sesekali menyahut pelan karena terlalu serius menyusun pola dedaunan dan bunga-bunga. Kali ini, Daun Akalipa banyak digunakan dalam pola-pola kain. Selain karena memang permintaan dari pembeli, daun Akalipa mudah didapatkan. Para Ambu mulai memperbanyak tanaman ini di pekarangan rumah masing-masing. Dari sekian banyak jenis tanaman ecoprint yang biasa digunakan para Ambu, aku tidak menemukan Daun Jarak Merah. Hal ini karena pohon Jarak Merah yang biasanya rimbun dan ranum di halaman samping rumahnya Teh Yuli sedang tidak berdaun.

Pola daun dan bunga pada kain ecoprint sangat bergantung pada ketersediaan tanaman di sekitarnya. Para Ambu sadar tentang keterhubungan tersebut sehingga mereka mulai menanam dan memperbanyakan tanaman ecoprint. Mereka akan saling bertukar bibit atau potongan batang tanaman yang bisa distek agar bisa ditanam di halaman rumah masing-masing. Bunga kenikir, tanaman yang mudah tumbuh dan sedikit perawatan, kini banyak ditemukan di kantong-kantong lahan tidak terpakai, menambah semarak lanskap Kampung Citalahab Sentral. Kupu-kupu dan serangga di sekitar kampung memiliki sumber makanan tambahan berkat persebaran bunga kenikir di dalam kampung. Terlepas dari simbiosis yang terjadi pada perubahan lanskap yang dilakukan oleh para Ambu, kegiatan membuat kain ecoprint menjadi bagian dan mengikuti siklus alam yang berjalan pada ekosistem TNGHS.

Hari semakin larut, matahari sudah mulai tenggelam di balik rerimbunan pohon. Lampu teras penginapan Teh Yanti membantu menerangi suasana sore yang temaram, menciptakan kelibatan banyangan tubuh para Ambu pada kain-kain putih yang tarhampar. Ini kali ketiga para Ambu menyusun daun pada kain ecoprint, setiap kelompok sudah menyelesaikan dua gulungan kain ecoprint yang siap untuk dikukus. Setelah para Ambu merasa puas dengan pola tanaman yang terbentuk, mereka akan melapisi bagian atas kain dengan plastik hitam dan menggulungnya pada sebuah pipa besi sepanjang 1,5 meter. Proses penggulungan kain tidak bisa dilakukan sendiri. Jika kain memiliki lebar 1,2 meter, mereka memerlukan empat sampai lima orang untuk menggulung kain. Dua orang bertugas menjadi pengganjal bagian ujung kain, mereka akan berdiri di atas kain yang sudah dilapisi plastik sementara dua rekan lainnya berjongkok di sisi yang berlawanan dan menggulungkan kain serta plastik hitam pada pipa besi. Kain dan plastik digulung erat pada pipa agar warna daun dan bunga tercetak jelas. Setelah selesai, kain dan plastik hitam dibungkus oleh tali rapia yang dililitkan secara berkali-kali sampai keseluruhan gulungan tertutupi tali. Tidak boleh ada bagian yang renggang dan longgar, semua harus tertutupi oleh tali rapia.

Tangan para Ambu tidak pernah berhenti bekerja, sama seperti isi pembicaraan mereka yang beragam, mulai dari harga ayam yang dijual oleh tukang sayur di kampung sampai pembagian piket membersihkan peralatan ecoprint besok. Pembuatan kain ecoprint berjalan sampai magrib, semakin gelap semakin cepat para Ambu bergerak. Setelah semua kain terbungkus tali rapia, mereka membawa gulungan kain ke tempat pengukusan yang berada di kantor Ambu Halimun. Proses pengukusan membutuhkan waktu dua jam. Sambil menunggu proses pengukusan selesai, para Ambu kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan aktivitas lain, ada yang beribadah, memasak, dan beristirahat. Kain yang sudah dikukus harus segera dibuka dan dijemur agar kain tidak rusak. Sekitar pukul 20.00, aku kembali lagi ke kantor Ambu Halimun untuk ikut membuka ikatan kain yang sudah dikukus.

Di antara udara malam pegunungan Halimun, gulungan-gulungan kain ecoprint memberikan kehangatan yang menguar dari sekujur tubuhnya yang kuyup oleh uap air. Ikatan tali rapia dibuka, tangan-tangan sibuk menarik tali rapia tersebut sehingga gulungan kain berputar-putar di lantai. Setiap pipa ditahan oleh kaki agar tidak menggelinding ke sembarang arah. Setelah ikatan tali rapia terakhir lepas, kain ecoprint yang masih tertutup plastik hitam dihamparkan. Aku sudah beberapa kali mengikuti proses pembuatan kain ecoprint bersama Ambu Halimun, tapi euforianya selalu sama. Walau format susunan tanamannya sama, tidak pernah ada dua kain ecoprint yang sama. Aku membuka gulungan kain ecoprint seperti anak kecil yang tak sabar membuka bungkusan kado, menanti isi yang memberi kejutan tak terduga. Ada kepuasan asing setiap aku melepaskan dedaunan yang masih menempel pada kain ketika plastik hitam terbuka dan melihat warna-warna daun tercetak jelas pada kain. Bau kain ecoprint yang baru dibuka juga mengingatkanku pada hutan ketika dilanda hujan bercampur dengan daun lalapan kukus, bau daun basah dan lembab.

Setelah semua kain selesai dibuka, para Ambu membawa kain ecoprint tersebut ke rumah masing-masing untuk diangin-anginkan. Jika pagi tiba, mereka akan menjemurnya di halaman agar cepat kering dan siap diantar ke pembeli atau dipajang di teras rumah penginapan Teh Yuli untuk para turis yang datang ke Kampung tersebut. Mengikuti kegiatan Ambu Halimun dari mulai pengumpulan tanaman hingga penjemuran kain, aku sadar bahwa membuat kain ecoprint tidak semudah hanya menyusun dedaunan dan bunga di atas kain. Para Ambu membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa lancar dan sukses membuat kain ecoprint yang berkualitas. Membuat kain ecoprint seperti meramu dan memasak, membutuhkan intuisi yang terlatih dalam penggunaan campuran mordan dan fiksasi serta penyusunan daun pada kain ecoprint. Kini, para ambu sudah hafal di luar kepala takaran bahan-bahan pembuatan larutan mordan dan fiksasi, pun tentang jenis tanaman yang bisa digunakan dalam kain ecoprint

***

Kain ecoprint tidak dapat dikerjakan sendiri, setidaknya itu yang aku simpulkan setelah mengikuti kegiatan pembuatan kain ecoprint bersama Ambu Halimun. Bukan hanya di masa persiapan kain ketika para Ambu harus pergi mencari bahan daun dan bunga sampai masuk hutan, tapi juga ketika pengerjaan pola kain. Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, satu kain tidak mungkin dikerjakan seorang diri. Proses penggulungan kain hanya bisa dilakukan minimal oleh dua orang jika kainnya kecil dan empat orang jika kainnya lebar. Aku melihat adanya semangat kebersamaan dan saling menolong antara anggota Ambu Halimun, tumbuh dari waktu yang mereka gunakan untuk berkarya dan membuat kain ecoprint bersama. Pertentangan dan perbedaan pendapat mungkin selalu ada namun mereda dengan obrolan ringan dan candaan yang menyenangkan.

Kain ecoprint Ambu Halimun tercipta dari tangan-tangan perempuan yang berupaya berdaya, tidak lelah untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Mereka terbuka pada setiap kemungkinan dan kesempatan yang muncul, mengandalkan waktu sebagai teman berkarya di antara kesibukan domestik yang harus mereka lakukan. Tangan-tangan para Ambu juga merupakan tangan yang merawat kehidupan. Para Ambu saling mengawasi dan menjaga anak satu sama lain, membiarkan mereka bermain bebas di antara jemuran kain ecoprint, daun-daun layu, dan bau cuka. Banyak jenis tanaman baru tumbuh di pekarangan dan ruang-ruang kosong kampung, menjadikannya tempat hidup bukan hanya bagi tanaman ecoprint, tapi serangga-serangga dan makhluk hidup lain. Keberagaman pola kain ecoprint menunjukan keberagaman tanaman yang ada di sekitar rumah para Ambu. 

Kain ecoprint Ambu Halimun memuat ingatan para Ambu terhadap lanskap di sekitar mereka. Mereka tahu ke mana harus mencari jenis-jenis tanaman yang mereka gunakan dalam kain ecoprint. Mereka mengenal tanah dan air yang menghidupi tanaman-tanaman tersebut, lereng dan bukit di mana tanaman tersebut hidup, dan binatang-binatang yang mereka temui dalam perjalanan mencari dedaunan dan bunga-bunga. Selembar kain ecoprint adalah ekstraksi peristiwa, pengalaman, dan pengetahuan yang dialami dan dituliskan oleh tubuh para Ambu pada lanskap kaki gunung Halimun. Tentu kita tidak bisa mengerti tentang pengalaman dan pengetahuan tersebut hanya dari melihat kain ecoprint tergantung di etalase toko. Nilai kain ecoprint hanya bisa didefinisikan jika kita mengetahui proses menjadinya. Dan kain ecoprint akan terus mengada jika ekosistem di sekitarnya tetap lestari.

0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *