• admin@kiara-indonesia.org
  • Bogor, Indonesia
IUCN World Conservation Congress 2025

IUCN World Conservation Congress 2025

Narasi: Rahayu Oktaviani

Tiba di Abu Dhabi pada pagi hari tanggal 8 Oktober 2025, saya berdiri di depan Abu Dhabi National Exhibition Centre, gedung yang menjulang megah, dihiasi satu layar raksasa bertuliskan “Welcome to IUCN World Conservation Congress 2025” dengan perasaan takjub dan, jujur, sedikit berdebar. Satu kata yang terngiang di benak: “privilege.” Bagi saya, bisa hadir di IUCN World Conservation Congress (WCC) adalah anugerah yang besar. Ini bukan sekadar konferensi, melainkan sebuah panggung dunia di mana masa depan konservasi planet ini sedang dirundingkan. Lebih dari 10.000 orang hadir: perwakilan masyarakat adat, praktisi konservasi, ilmuwan, pelaku bisnis, lembaga filantropi, jurnalis, dan pemerintah dari seluruh penjuru dunia.Saya hadir terutama dalam kapasitas sebagai wakil organisasi, KIARA dan sebagai bagian dari jaringan spesialis primata.

Kongres Terbesar dalam Sejarah Konservasi

IUCN WCC adalah pertemuan empat tahunan yang diselenggarakan oleh International Union for Conservation of Nature, organisasi global yang telah berdiri sejak 1948. Tujuannya sederhana namun mendalam: memperkuat aksi nyata konservasi di seluruh dunia. Kongres ini terbagi dalam tiga komponen utama: Forum, Pameran (Exhibition), dan Sidang Anggota (Members’ Assembly), di mana ribuan gagasan, inisiatif, dan kebijakan baru lahir untuk menjadi arah konservasi global.


Tahun ini, WCC 2025 mengusung tema “Powering Transformative Conservation”, menyoroti perlunya pendekatan lintas sektor dan kolaborasi nyata di tengah krisis keanekaragaman hayati dan perubahan iklim yang semakin kompleks.

Saya masih mengingat WCC pertama yang saya hadiri di Pulau Jeju, Korea Selatan, pada tahun 2012. Saat itu saya masih mahasiswa pascasarjana, datang dengan semangat tinggi, namun juga kebingungan menghadapi begitu banyak sesi paralel yang berjalan bersamaan. Saya pulang dengan satu kesimpulan: “Ooh, ternyata skala acara konservasi bisa sebesar dan sepadat ini.”


Kini, setelah lebih dari satu dekade, saya datang lagi. Tapi kali ini dengan misi yang lebih jelas, pengalaman yang lebih matang, dan keyakinan bahwa suara yang saya bawa: suara owa jawa dan upaya konservasi dari level tapak layak mendapat tempat di percakapan global.

Pembukaan IUCN WCC 2025

Upacara pembukaan berlangsung khidmat dan megah. Dihadiri langsung oleh Sheikh Mohammed Bin Zayed Al Nahyan, Presiden Uni Emirat Arab, acara ini menandai keseriusan negara tuan rumah dalam menempatkan konservasi sebagai bagian dari agenda pembangunan.

Salah satu momen yang membekas bagi saya datang dari pidato Menteri Lingkungan Hidup Panama. Dengan nada yang tegas, beliau menyampaikan kutipan yang terus terngiang di kepala saya: “We must act now, and support more conservation work on the ground.”

Kalimat sederhana, namun mengandung pesan yang kuat. Bahwa tindakan nyata, bukan hanya kebijakan dan diskusi adalah inti dari konservasi.

Duka di Tengah Perayaan

Namun, di balik semangat itu, ada kabar duka yang menghampiri menjelang kongres dimulai. Jane Goodall, tokoh yang menjadi inspirasi bagi jutaan orang di dunia konservasi, berpulang pada 1 Oktober 2025, hanya beberapa hari sebelum beliau dijadwalkan menjadi salah satu pembicara utama.

Bagi saya pribadi, berita itu menghantam dengan begitu dalam. Saya masih mengingat jelas pertemuan kami di Hong Kong tahun 2018, ketika saya menyerahkan buku cerita anak tentang owa kepadanya. Dengan senyum hangat, beliau berkata, “Thank you for standing on the gibbons’ side.”
Kata-kata itu menjadi kompas moral dalam perjalanan saya hingga hari ini.

Dalam kongres ini, ada satu sesi khusus yang dipersembahkan sebagai tribute untuk Jane Goodall. Aula besar yang biasanya riuh mendadak hening. Di layar terpampang cuplikan-cuplikan video perjalanan hidupnya: dari hutan Gombe, tenda kecilnya di Afrika, hingga momen-momen ketika beliau berbicara di hadapan dunia dengan kelembutan dan keteguhan yang khas.

Tribute itu disampaikan oleh Razan Al Mubarak, Presiden IUCN, dan Dr. Russ Mittermeier, Chair of the IUCN Primate Specialist Group, bersama perwakilan lain dari berbagai negara. Suara mereka bergetar ketika mengenang sosok Jane sebagai “the heart of conservation.” Banyak di antara kami yang meneteskan air mata. Saya pun demikian. Rasanya seperti kehilangan seorang guru besar — seseorang yang mengajarkan bahwa empati dan ilmu pengetahuan bisa berjalan seiring dalam menyelamatkan bumi.

Membawa Suara Owa dan Halimun ke Panggung Dunia

Tahun ini, saya berkesempatan menjadi panelis dalam lima sesi berbeda, pengalaman yang menantang sekaligus memperkaya.
Di setiap sesi, saya membawa pesan bahwa konservasi bukan hanya tentang spesies, tapi juga tentang manusia dan budaya yang hidup berdampingan dengan alam.

Beberapa sesi yang saya ikuti antara lain:

  • Celebrating Success: Species Recovery, bersama tim Reverse The Red, yang mengangkat kisah upaya pemulihan spesies di berbagai belahan dunia.
  • Successful Conservation Strategies in Indonesia: From Primary Forests to Coral Reefs, di mana saya berbagi tentang pendekatan lintas sektor yang kami lakukan di Indonesia. Suatu kebanggaan bagi saya dapat berbagi panggung bersama Prof. Satyawan selaku Dirjen KSDAE Kementerian Kehutanan, Mentor saya, Prof. Mirza D. Kusrini, Ibu Safira Djohani dari Coral Triangle Center dan IUCN Patron of Nature, Dr. Richard Sneider.
  • How Youth Tackle the Overlooked Aspects of Biodiversity Crisis in Southeast Asia, bersama para pemimpin muda Indonesia seperti Sheherazade (Progress Sulawesi), Diny (Belantara Foundation), dan Brigitta Gunawan (30×30 Indonesia).
  • A Success Story: A Global Call to Save the Rarest Apes, yang diorganisir oleh Eco Foundation Global dan Global Gibbon Network.
  • Dan tentu saja, Gibbon Tales from Asia, sesi favorit saya, penuh tawa, nyanyian owa, dan rasa haru ketika peserta yang hadir dari berbagai negara terpikat oleh kisah konservasi akar rumput dan folklore owa dari Jawa, Kalimantan dan Cina

Dari jaringan Global Gibbon Network, ada satu kabar menggembirakan: Motion 116 tentang penguatan konservasi gibbon disetujui untuk menjadi resolusi resmi IUCN. Ini berarti suara owa kini resmi masuk dalam agenda global, dan membuka peluang lebih besar untuk dukungan kebijakan dan kolaborasi lintas negara.

Jejaring: Jembatan Menuju Kolaborasi

Selain menjadi panelis, tujuan utama saya hadir di WCC adalah untuk berjejaring. Dalam dunia konservasi, jejaring bukan sekadar pertukaran kartu nama atau pertemuan singkat di koridor konferensi, ia adalah fondasi dari kolaborasi yang berkelanjutan.
Berada di ruang yang sama dengan ribuan pelaku konservasi dari berbagai negara membuat saya menyadari pentingnya membangun kepercayaan lintas batas. Di sinilah ide-ide tumbuh: ketika ilmuwan bertemu seniman, ketika pemimpin adat berbicara dengan pembuat kebijakan, atau ketika organisasi kecil seperti KIARA didengar oleh lembaga global.

Saya percaya, setiap hubungan baru adalah potensi perubahan. Jejaring seperti ini memberi kita ruang untuk saling belajar, menemukan peluang kolaborasi, dan memperluas dampak kerja yang selama ini dilakukan di lapangan. Bagi saya, inilah kekuatan sejati dari kongres dunia: menghubungkan manusia untuk memperkuat masa depan alam.

Refleksi: Belajar dari Dunia, Pulang untuk Bekerja di Lapangan

Kongres ini bagi saya bukan hanya ajang berbicara, tapi juga kesempatan belajar, mendengar, dan merenung.

Saya belajar bahwa:

  1. Kolaborasi bukan jargon, tapi kebutuhan nyata. Semua sektor, dari ilmuwan hingga seniman, dari pengambil kebijakan hingga masyarakat lokal punya peran yang saling melengkapi.
  2. Empati adalah fondasi konservasi. Banyak hal yang saya dengar di kongres ini mengingatkan bahwa menjaga alam tanpa memahami manusia yang hidup di dalamnya hanya akan menciptakan jarak.
  3. Kisah memiliki daya ubah. Cerita tentang owa, komunitas lokal dan hutan yang dijaga bersama dapat menyentuh hati banyak orang. Storytelling adalah jembatan antara ilmu pengetahuan dan kesadaran publik.
  4. Perpisahan dengan Jane Goodall adalah pengingat. Bahwa warisan sejatinya bukan dalam bentuk penghargaan atau publikasi, tetapi dalam semangat untuk terus berbuat, sekecil apa pun langkahnya.

Menutup perjalanan ini, saya membawa pulang bukan hanya catatan resolusi dan kartu nama baru, tetapi juga rasa syukur dan tekad baru. Bahwa di tengah megahnya panggung dunia, kerja konservasi sejati tetap berakar di lapangan: di hutan, di desa, di antara orang-orang yang menjaga alam dengan tangan mereka sendiri.

0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *