Cerita Di Balik Dinding Terakhir Rumah Owa Jawa
Ditulis oleh: Rizka Malintan
Halo, aku Icha mahasiswa Prodi Biologi, Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Luasnya dunia biologi memberikan banyak pilihan kepadaku untuk menentukan passion yang aku inginkan. Salah satu pilihan yang menarik untukku adalah hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya, keduanya tidak pernah gagal membuat aku berdecak kagum, ada saja kejutan tidak terduga yang selalu berkesan di dalamnya. Jika boleh diperumpamakan “Hidup layaknya puzzle” hutan menjadi salah satu potongan puzzle yang melengkapi cerita perjalanan hidupku. Dan dari banyaknya keanekaragaman hayati di hutan, aku tertarik dengan primata. Pada semester 7 ini aku harus memenuhi 1 kredit perkuliahan yaitu praktik kerja lapangan (PKL), dimana Prodi Biologi UNJ memberikan kesempatan kepada mahasiswanya memilih tempat praktik kerja lapangan sesuai dengan keinginan masing-masing.
Aku memilih Javan Gibbon Research And Conservation Project (JGRCP) sebagai tempat untuk melakukan PKL selain karena aku tertarik dengan primata aku juga bisa turun langsung ke lapangan (hutan). Di bawah naungan Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA). Di sinilah aku berada selama 6 minggu di Kampung yang berbatasan langsung dengan rumah Owa Jawa serta beragam satwa lainnya, Kampung Citalahab Central, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dan inilah ceritaku di balik dinding terakhir rumah Owa Jawa.
Selama melaksanakan PKL aku tinggal di Rumah Owa, didampingi para asisten lapangan yang memiliki peran besar terhadap riset jangka panjang ini yaitu Kang Nuy, Kang Isra, Kang Indra, Kang Nandar, Aziz, Alan dan Apud. Tidak lupa juga Ibu Amot, ibu masak dengan sambelnya yang sangat lezat (duh lebay, tapi ini fakta, tidak percaya? Coba buktikan sendiri :D).
Setiap hari Senin-Jumat mulai dari pukul 06.30 kami melakukan pengamatan harian Owa Jawa. Sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan yaitu 2 hari berturut-turut mengamati kelompok B atau S dan diselingi pengamatan kelompok A dalam seminggu. Karena kondisi alam yang tidak menentu sering kali kami tidak bisa melanjutkan pengamatan, beberapa kali juga tidak bisa berangkat ke hutan.
Hari pertamaku masuk ke dalam hutan langsung mendapatkan kelompok S. Kelompok ini terdiri dari Sahri (jantan dewasa), Surti (betina dewasa), Sanha (anak) dan Seojong (bayi). Kelompok yang rumahnya paling jauh, setidaknya harus melewati sawah, sungai serta medan yang cukup menantang untuk sampai ke sana. Bersama Kang Nuy, Kang Isra, Alan dan Afud kami siap berangkat. Namun, bukan Icha namanya kalau belum jatuh, terjerembap, terpeleset, atau terperosok. Belum terlalu jauh keluar dari Rumah Owa, tapi Byuurr kaki kiriku masuk kedalam sawah! Suasana yang tadinya hening langsung dipenuhi dengan tawa,
“Belum masuk hutan ini, Cha” ujar kang Isra.
Benar, pintu hutan masih jauh sekitar 200 meter dari tempat jatuhku, tapi aku sudah mendapatkan hadiah pertamaku di sini. Tentu saja perjalanan kami tidak berhenti meskipun aku terperosok di sawah, kami tetap melanjutkan perjalanan. Setelah berada di tempat berpisah, tim dibagi menjadi 3 bagian, saat itu aku ikut bersama kang Nuy dan Afud, masing-masing asisten mencari ke 3 jalur berbeda. Setiap asisten membawa handie talkie sebagai alat komunikasi. Asisten saling memberi informasi keberadaan Owa dengan nada yang khas dan menjadi ciri tersendiri bagi mereka untuk berkomunikasi,
“masih di tempat tadiii, belum ada tanda-tanda, sepi, sepi…”
Sebuah contoh kalimat yang terucap apabila di tempat Owa biasa melakukan aktivitas belum terlihat Owa. Perlu sekitar 1 kali putaran untuk mencari Owa saat itu sebelum pada akhirnya kami menemukan Owa. Hingga pada akhirnya pengamatan hari itu selesai, kami dapat mengamati Owa hingga pohon tidur mereka. Eitss, cerita hari pertamaku belum selesai masih ada perjalanan pulang. Sebelum pulang hujan turun disertai gemuruh, kami harus bergegas pulang karena dikhawatirkan volume air sungai naik dan kami tidak bisa melewati sungai. Padahal hujan baru saja turun, tapi aliran sungai sudah sangat deras. Ini pertama kalinya aku harus menerjang sungai dan kembali “byurrr” aku tidak terjatuh, hanya salah berpijak di atas batu sungai dan lengkap sudah seluruh tubuh bagian bawahku basah. Tapi, aku senang karena mendapat begitu banyak pengalaman di hari pertama.
Kemudian ada momen berharga ketika melakukan pengamatan di kelompok A. Kelompok A terdiri dari Aris (jantan dewasa), Ayu (betina dewasa), Amore (anak dewasa) dan Awan (anak). Saat itu kami harus bersusah payah mengejar kelompok A dan terlihat kelompok A begitu agresif melihat kehadiran kami. Masing-masing dari kami fokus mengamati satu individu, aku bersama kang Indra mengamati Aris, Aziz mengamati Ayu dan kang Nandar mengamati Awan. Tiba-tiba Aziz berteriak,
“Eh, bayi itu, ayu punya bayi!”
Aku langsung mencari Ayu dan benar adanya tanpa perlu memakai binokuler terlihat jelas kalau ayu tengah menggendong bayi. Sungguh menjadi suatu kabar baik karena kelompok A sempat kehilangan Ajaib (bayi) pada bulan Februari 2021. Kami langsung bersiap untuk mengabadikan momen tersebut dan pengamatan hari itu harus dihentikan karena mengingat bayi yang baru lahir dikhawatirkan genggamannya belum kuat dan bisa saja terjatuh.
Yang terakhir ada kelompok B, kelompok yang terdiri dari Kumis (jantan dewasa), Kety (betina dewasa), Komeng (anak dewasa), dan Kendeng (anak). Kelompok ini cukup sulit ditemui, terkadang kami harus mencari hingga 3 kali putaran. Wilayah jelajah yang luas mungkin saja menjadi alasan Kelompok B berada di zona yang tidak bisa terjangkau oleh kami. Kelompok B juga bisa di nobatkan menjadi kelompok paling aktif bergerak, karena jika sudah ketemu, kami harus naik turun bukit untuk mengikuti kelompok B. Pernah sekali waktu kami dibuat kewalahan harus bolak balik naik turun tebing sebanyak 3 kali.
Dari ketiga kelompok Owa yang diamati, aku jatuhkan pilihan kepada kelompok S sebagai kelompok favoritku. Alasannya karena aku sangat senang melihat Seojong yang tumbuh aktif dan berani untuk mengekplorasi. Saat ribut dengan kelompok lain Surti melakukan calling, tiba-tiba Seojong juga ikut bersuara mengikuti suara Surti. Terkadang para asisten juga mengatakan “Si leutik wanian” (si kecil udah berani), benar-benar momen yang spesial. Selain menjadi kelompok favorit terdapat juga jalur favoritku di wilayah kelompok S yaitu Jalur Kidul. Perlu aku akui jika wilayah Kelompok S memiliki banyak jalur yang menantang, tapi Jalur kidul ini didominansi tanjakan yang terbilang cukup aman untuk dilalui, serta di jalur ini pula aku hampir tidak pernah terjatuh. Dan bersama kelompok serta jalur favorit ini pula aku menutup hari terakhir praktik kerja lapanganku, sebuah ketidaksengajaan yang sangat istimewa bukan? Hehehe… Dibuka dengan kelompok (S)pesial, ditutup juga dengan kelompok (S)pesial.
Selain melakukan pengamatan selama di sini aku juga diberikan tugas untuk belajar bersama anak-anak kampung Citalahab Central dalam bentuk Pendidikan konservasi setiap minggunya. Sejak awal pandemi hingga saat ini anak-anak tidak dapat melaksanakan belajar secara maksimal dan pada kesempatan inilah anak-anak bisa mendapatkan pembelajaran di luar pendidikan formal.
Aku juga mengikuti kegiatan pemberdayaan perempuan yang diadakan oleh Yayasan KIARA bersama ibu-ibu di kampung Citalahab Central. Bersama “Macan Halimun atau mama-mama cantik Halimun” julukan yang dibuat sendiri oleh ibu-ibu di sini. Kami belajar pengelolaan keuangan rumah tangga dan pembuatan ecoprint. Serta ada pula kegiatan dari balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak yaitu kegiatan kader konservasi, pada kegiatan ini aku belajar menjadi guide, gugup awalnya karena harus menjelaskan aktivitas harian serta keunikan Owa Jawa, tapi setelah dicoba malah tidak mau berhenti ngomong :D.
Selesai sudah kegiatan praktik kerja lapanganku di JGRCP, di sini aku tidak hanya belajar mengenai Owa Jawa itu sendiri tapi juga belajar mengenai keharmonisan bersama masyarakat. Merampungkan praktik kerja lapangan di sini bukan berarti merampungkan segala ikatan yang sudah dibangun selama kurang lebih 6 minggu di tempat terdingin yang pernah aku datangi tapi juga bisa memberikan kehangatan, layaknya rumah yang aku tinggali. Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku yang akan terus hidup hingga nanti.
Meski masih banyak cerita di balik dinding rumah Owa Jawa yang belum aku tuliskan, namun mereka akan selalu terkenang dalam ingatan dan tidak akan pernah luput untuk aku ceritakan. Jadi, sampai ketemu di Cerita di balik dinding rumah Owa Jawa pada pertemuan lainnya!
Sampai jumpa!