
Cerita Perjalanan: Meningkatkan Kapasitas Para Konservasionis Muda di Bengo, Sulawesi Selatan
Narasi: Jasmine Savitri (Administrator KIARA dan peserta Building Capacity in Primate Field Research
Jika berbicara tentang hari itu, saya kembali mengingat pengalaman-pengalaman baru yang menyenangkan. Ingatan saya penuh akan hutan dengan karst-nya, laceng/dare alias Macaca maura, buah pangi/kalua (Bugis)/kluwek (Jawa), kebersamaan di ruang kantin, makanan khas Sulawesi Selatan, dan hal-hal seru lainnya. Hari itu, Kamis 13 Juli 2023 saya bersama Ka Ayu (Ketua Yayasan KIARA) sampai di Bandara Sultan Hasanuddin, Sulawesi Selatan. Langit mendung Makassar menyambut kami, ternyata sudah ada Pak Icang yang siap mengantar kami menuju Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Bengo. Percakapan ringan menemani perjalanan kami.
Singkat cerita kami sampai di Bengo, bertemu Prof. Erin P. Riley seorang peneliti dari San Diego State University dan dosen-dosen lainnya dari UNHAS; Pak Oka dan Pak Siyadi. Malamnya kami berkumpul untuk makan malam dan bertemu dengan mahasiswa San Diego serta UNHAS, kemudian berlanjut ke ruang diskusi untuk briefing kegiatan esok hari.
Kegiatan yang bertajuk “2nd Fostering International Collaboration and Building Capacity in Primate Field Research” ini merupakan kegiatan kolaborasi kedua antara Program Studi Konservasi Hutan UNHAS dengan San Diego State University (SDSU). Kegiatan ini berlangsung selama tujuh hari dari tanggal 10-16 Juli 2023. Kami mempelajari beberapa hal seperti: 1) ethogram, 2) metode pengamatan perilaku primata yaitu scan sampling (group scan) dan focal animal sampling, 3) interobserver reliability, dan 4) human demention of the environment. Saya rasa, dapat menghadiri kegiatan ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mempelajari dunia primata dan menambah relasi dengan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia konservasi.

Pada malam itu saya menggali lagi ingatan semasa kuliah dulu, yaitu mengenai ‘dunia permonyetan’ terkhusus M. maura; mereka semi terestrial, dalam satu kelompok terdiri dari banyak jantan dan betina, terdapat hirarki seperti jantan alfa, betina alfa, pakannya dominan berupa buah (80%), dan memiliki toleransi sosial. Kemudian kami latihan mengidentifikasi individu primata dengan cara membuat sketsa wajah dan bokong, kemudian menuliskan/menggambar ciri pembedanya (misalkan terdapat luka di wajahnya, warna rambut, bentuk ekor dll). Saya satu kelompok dengan salah satu mahasiswa S1 SDSU yaitu Matt, untuk mencocokkan hasil identifikasi kami pada individu monyet yang disebut Cri dan Paman.

Kami semua membahas kembali hasil identifikasi Cri dan Paman. Ternyata Cri merupakan individu betina dewasa yang ciri wajahnya pemarah, dan jarak antara Ischial callosities (bantalan duduk) terpaut jauh. Sedangkan Paman wajahnya penuh bekas luka, bantalan duduk yang menempel, dan bokongnya berwarna abu-abu. Seperti yang sudah kami lakukan, cara mengenali tiap individu primata dapat dilihat dari kelas umur (jantan dewasa, juvenil, dll), jenis kelamin (perawakan jantan yang taringnya lebih besar dll), dan tanda-tanda alami yang dimilikinya.
Jumat, 14 Juli 2023, pagi-pagi sekali kami sudah berangkat menuju hutan penelitian UNHAS untuk mempraktikkan metode scan sampling. Jarak area pengamatan tidak terlalu jauh dari pinggir jalan raya. Hal mencolok yang ada di hutan sana yaitu karst yang tinggi, besar, menjulang. Kami berhasil melakukan 2 scan terhadap kelompok B M. maura selama 30 menit tiap scannya. Individu yang paling menarik perhatian ialah Abu, kami berhasil membedakannya karena ciri khas berupa rambut keabuan yang kontras dengan warna rambut yang lain. Ada juga dua individu betina yang sedang estrus/birahi, istilahnya swelling. Kondisi ini menyebabkan kulit di area genital menjadi kemerahan dan bengkak. Sesi pengamatan kelompok satu diakhiri dengan melakukan scan terhadap kawanan sapi yang kami temui di hutan, cukup unik memang.

Tiba saatnya giliran kelompok dua melakukan pengamatan, kami kembali berjumpa dengan individu Abu, tapi jauh lebih dekat. Tak hanya itu, kami berhasil mengamati Paman, lalu Nopi si sassy girl yang berjalan di dahan pohon, hingga beberapa individu betina yang sedang estrus.


Malamnya, kami kembali berkumpul di ruang diskusi untuk berbagi cerita selama pengamatan. Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan mempelajari topik “Human Demention of The Environment” oleh Prof. Amanda L. Ellwanger dari Georgia State University. Topik ini membahas tentang metode pengambilan data sosial. Saat praktik, pertama kali kami melakukan sensus (censusing) untuk mengenal responden lebih jauh (contoh: demografinya) melalui wawancara. Saat itu dibagi menjadi 2 kelompok, dengan tema masing-masing: 1) makanan tradisional, dan 2) minuman favorit. Pasangan wawancara saya adalah seorang mahasiswa dari SDSU yaitu Emily dari Amerika Serikat dan kami saling bertukar pertanyaan. Saya menanyakan apa saja makanan tradisional Amerika Serikat, sedangkan Emily menanyakan minuman favorit saya. Hasil dari censusing dan freelist questions tersebut dianalisis menggunakan Smith’s S untuk mengetahui tingkatan item yang sering muncul (baik dari 1 responden dan seluruh responden). Singkat cerita, kami tiba di latihan terakhir berupa wawancara semi-struktural dan struktural menggunakan dua teknik: 1) open-ended questions, dan 2) likert scale questions. Di tahap ini harapannya pewawancara dapat mendapatkan informasi lebih dari responden. Pada open-ended questions ini menekankan pada percakapan suatu topik yang ‘mengalir’, namun tetap fokus dan pertanyaannya harus netral. Sedangkan likert scale questions itu pertanyaannya berupa pernyataan dengan jawaban yang terbatas (ranking). Misalnya, setuju, tidak setuju, dll (pilihan jawaban harus ganjil). Terakhir, kami menganalisis kembali jawaban tersebut dan mencari item tertinggi yang muncul (untuk makanan tradisional ada pizza dan coto, sedangkan minuman favorit responden adalah air).
Esok harinya, kegiatan dimulai dengan jam yang sama. Kali ini giliran kelompok 2 untuk pengamatan lebih dulu. Sayang sekali, untuk praktik Focal Animal Sampling ini kami cukup kesulitan menemukan dare. Beberapa menit kami menyusuri hutan hingga sampailah di sebuah gua karst lalu kami beristirahat dulu. Setelah berjalan kembali beberapa menit, akhirnya Pak Hendra yang memandu kami menemukan kawanan dare. Kami melakukan Focal pada satu individu selama 10 menit dengan jeda 1 menit. Kami perlu fokus dan gesit untuk selalu mengikuti pergerakan satu individu. Singkat cerita pengamatan di hari kedua ini lebih membutuhkan usaha dibandingkan hari sebelumnya, karena sulitnya menemukan kawanan dare kami perlu eksplorasi lebih jauh.
Malam hari pun tiba, kami semua kembali berlatih menggunakan video kawanan dare yang dimiliki Prof. Erin. Setelah itu, hasil pengamatan tersebut dianalisis untuk melihat persentase perilaku spesifiknya (misal bergerak/moving), dan persentase substrat yang digunakan. Kami juga menghitung observer reliability di mana antar pengamat menguji kembali hasil pengamatan masing-masing agar data yang dikumpulkan akurat dan minim bias. Ternyata hasil yang kami dapatkan beragam, ada yang 0, 0.25, dsb. Semakin nilai reliabilitas mendekati angka 1.0, maka semakin bagus. Kegiatan diakhiri dengan sesi foto peserta, sepertinya cukup ditunggu-tunggu karena setelahnya kami langsung bertukar username Instagram hehehe.
Kegiatan inti telah selesai, pada tanggal 16 Juli 2023 selesai sarapan teman-teman UNHAS berpamitan. Di hari itu tidak ada kegiatan, namun di sore hari saya terpikirkan untuk pergi ke sebuah tempat, namanya “Bukit Teletubbies”. Di zaman sekarang tidaklah sulit untuk menemukan tempat wisata di internet, saya pun mendapatkan informasi tersebut dengan mudah. Awalnya saya ingin pergi sendiri dengan berjalan kaki, pada akhirnya teman-teman SDSU juga ikut. Bukit Teletubbies tidak jauh dari hutan pendidikan UNHAS, hanya memakan waktu sekitar 5 menit menggunakan motor.


Tak terasa 5 hari sudah terlewati hingga tiba saatnya kami meninggalkan Bengo, semoga akan ada hari di mana saya bisa menginjakkan kaki di sana lagi.