• admin@kiara-indonesia.org
  • Bogor, Indonesia
Cerita Dari Lapangan
Summer Course IPB 2024: Memperluas Pengetahuan tentang Peran Primata untuk Kehidupan Manusia 

Summer Course IPB 2024: Memperluas Pengetahuan tentang Peran Primata untuk Kehidupan Manusia 

Narasi: Amin Indra Wahyuni

Pada bulan Juli ini saya mengikuti kegiatan summercourse ke 4 (empat) yang diadakan oleh Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB dengan tema “Strategic Studies in Bioconservation and Biomedical of Primatology to Support Sustainable Ecohealth and Primate Welfare“. Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 11-18 Juli 2024 pada beberapa lokasi. Pematerian dilaksanakan di PSSP IPB, Jalan Lodaya dan kegiatan kunjungan lapangan di kawasan Telaga Warna, juga kunjungan ke Taman Safari Indonesia.  

Kegiatan ini diikuti oleh 24 peserta dari beberapa lembaga dan universitas. Mayoritas peserta adalah mahasiswa, diantaranya dari Jurusan Kedokteran Hewan Universitas Padjajaran sebanyak 16 peserta,  seorang mahasiswa dan dosen jurusan Kedokteran Hewan Universitas Hasanudin, dua peserta dari BKSDA Jawa Barat, dua peserta dari CV Primaco dan dua peserta dari Yayasan KIARA.  

Hari pertama dibuka dengan pengenalan primata Indonesia, perannya untuk ekosistem dan perannya dalam sains biomedik. Pengetahuan ini penting untuk mahasiswa yang belum familiar dengan primata sebagai dasar pengetahuan untuk memperoleh materi pada sesi selanjutnya. Materi dilanjutkan dengan pengenalan regulasi penggunaan primata untuk keperluan biomedis, pengenalan adanya kuota pengambilan satwa untuk memastikan kemampuan bertahan hidupnya di habitat alami, dan menghitung batas maksimum produktivitas satwa Monyet Ekor Panjang di captive breeding. Materi ini disampaikan oleh Dr. Tika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).  

Pengetahuan mengenai penggunaan primata untuk keperluan biomedis seringkali menimbulkan pendapat yang berseberangan dengan yang percaya bahwa peran primata di ekosistem sudah cukup dikatakan sebagai pemanfaatan. Melalui summer course ini saya berusaha mempelajari bahwa alasan penggunaan primata untuk keperluan biomedis ini sangat erat kaitannya dengan tingkat kemiripannya dengan manusia. Primata memiliki perilaku yang kompleks, kecerdasan dan bahkan secara emosional dapat memunculkan reaksi psikologi yang spesifik. Hal yang sangat perlu diperhatikan dalam proses pemanfatannya adalah memaksimalkan prinsip five freedom yang sudah secara umum diketahui dan dipelajari, dan satu lagi prinsip yang tidak kalah penting adalah five domains

Five freedom merupakan lima aspek yang memperhatikan kesejahteraan hewan, dengan mengeliminasi/menghindarkan hewan dari hal-hal yang negatif menjadi netral, contohnya Free from hunger bermakna memberikan pakan untuk hewan agar tidak merasa lapar, sementara dalam prinsip Five domains prinsipnya adalah untuk memunculkan hal yang sifatnya positif. Contohnya dalam hal pemberian makan, tidak hanya membiarkan hewan tidak merasakan lapar namun perlu membuat hewan menyukai makanannya. Kompleksitas model bersosial dari primata membuat kita perlu mempertimbangkan prinsip five domain ini, dan memberikan lingkungan yang baik untuk primata. Selain itu, perhatian terhadap enrichment juga penting. Primata yang kebanyakan berkelompok dan bersosial, maka penempatan kadang social housing juga perlu dipertimbangkan sebagai enrichment. Selain bersosial, memunculkan pengalaman foraging juga perlu dilakukan di dalam kandang dengan cara menyebarkan biji atau buah untuk menstimulasi primata mencari makanannya.  

Dalam sesi mempelajari five freedom dan five domain ini juga membahas tentang melatih primata melalui Pelatihan Penguatan Positif (Positive Reinforcement Training/ PRT) sebagai latihan agar dapat secara sukarela memberikan tangannya saat ingin dilakukan pengambilan sampel direct berupa sampel darah. Kesuksesan dari PRT ini dimulai dengan mengenali primata (assesment) dari sisi usia, hirarki, gender, pengondisian dan yang lainnya. Sebagai contohnya, saat melakukan pemilihan individu primata perlu dilakukan dengan cermat. Individu yang sudah tua memiliki waktu yang lebih lama untuk belajar, individu juvenile lebih suka bermain sehingga yang memiliki kemungkinan keberhasilan PRT paling besar adalah individu dewasa.  

Materi penting selanjutnya adalah mengenai pentingnya komunikasi dalam dunia penelitian dan konservasi primata. Komunikasi yang baik terjadi dua arah dan terbuka. Penyederhanaan sains untuk menyampaikan hasil penelitian agar lebih mudah dimengerti perlu dilakukan. Perbedaan pandangan terhadap penelitian lapangan dan penelitian laboratorium dikurangi dan diselaraskan dalam hal konservasi primata. Keduanya memiliki relung dan peran masing-masing yang justru penting untuk dikolaborasikan. Demikian juga dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Edukasi/pendidikan konservasi dinilai sangat penting, selain untuk regenerasi konservasionis, membentuk generasi muda yang mempertimbangkan pentingnya konservasi juga bertujuan untuk mencegah adanya kepunahan spesies. Edukasi dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas juga dinilai penting untuk orang lokal sebagai garda terdepan yang menjaga keberadaan primata pada habitatnya.  

Dalam summer course ini juga terdapat sharing session hasil penelitian perilaku beberapa jenis primata, sebagai contoh Dr. Carlotte canteloup yang mempelajari evolusi kemampuan kognitif primata. Mempelajari adanya sifat primata yang berkaitan dengan pengetahuan primata, primata yang memiliki perasaan dan intensi sehingga dapat dikaitkan dengan kondisi mental dan lainnya. Pada penelitiannya, Dr. Carlotte membagi jika monyet vervet akan berubah jadi less social kalau masuk ke kelompok yang less social

Dalam sesi lain, kami juga mempelajari tentang kegiatan dan sistem yang ada di International Union for Conservation of Nature Indonesia Species Specialist Group (IUCN-IdSSG). Kesembilan kategori dalam IUCN menunjukkan status satwa liar di alam berdasarkan data yang dikumpulkan. Tiga status diantaranya Critically Endangered (CR), Endangered (EN) dan Vulnerable (VU) ketiganya masuk kategori Threatened/ terancam punah.  

Dalam presentasinya, Celia sebagai perwakilan dari IUCN-IdSSG menyampaikan ancaman paling besar terhadap hilangnya biodiversitas adalah karena berkurangnya luasan habitat karena pembukaan lahan, alih fungsi hutan dan pembangun padahal banyak kawasan di Indonesia yang memiliki endemisitas spesies yang tinggi. Hal ini semakin diperparah dengan adanya perburuan untuk pemenuhan kebutuhan pasar. Ancaman ini dapat memunculkan silent forest syndrome atau kondisi di mana hutan sepi tak berpenghuni dan tak ada lagi suara yang berasal dari hutan.  

Kunjungan lapangan kegiatan Summer course selanjutnya berlangsung selama tiga hari dua malam. Seluruh peserta berangkat ke Cagar Alam Telaga Warna, Kabupaten Bogor yang termasuk ke dalam wilayah yang dikelola oleh BKSDA Jawa Barat. Cagar Alam ini merupakan kawasan wisata di Puncak, Bogor yang sering dikunjungi oleh khalayak umum karena aksesnya yang mudah dari wilayah Jadetabek.  

Peserta Summer course melakukan trekking masuk ke dalam hutan melalui jalur yang sudah cukup bagus untuk dilewati. Jalur yang dilalui terbagi menjadi dua tebingan dan turunan, pada tebingan pertama saya masih dapat mendengar suara bising kendaraan dari jalan raya namun pada tebingan kedua sudah tidak. Kondisi vegetasi di sana cukup baik dengan pepohonan yang rapat namun dengan ukuran pohon yang merata didominasi pancang. Tujuan dari kegiatan trekking ini adalah memberikan pengalaman kegiatan lapangan kepada peserta, untuk mempraktikkan pemasangan camera trap setelah memperoleh materi di dalam kelas dan mengidentifikasi sampel feses. Dalam perjalanan, kami menemukan sampel feses luwak yang di dalamnya terdapat gumpalan plastik besar. Diduga luwak tersebut masuk ke daerah terbuka dan mengira plastik tersebut sebagai sumber makanan.  

Cagar Alam Telaga Warna adalah habitat bagi beberapa jenis primata, diantaranya adalah Owa Jawa, Lutung Jawa, Kukang Jawa, dan Monyet Ekor Panjang. Monyet adalah primata yang paling mudah dijumpai karena hidup di sekitar Telaga. Jumlahnya cukup banyak, mencapai 30 individu dengan berbagai struktur usia. Seperti Monyet pada umumnya, mereka tidak ragu untuk menghampiri tempat yang mereka rasa terdapat sumber makanan. Pengunjung yang duduk juga merasa tidak kaget dan tetap duduk meskipun ada monyet di sekitar tempat mereka makan, sementara papan pemberitahuan larangan memberi makan tidak dapat ditemukan di sekitar kawasan Telaga Warna, hanya papan bertuliskan tanda untuk berhati-hati dan menjaga barang bawaan karena banyak Monyet.

Sore hari saat pengunjung sudah pulang, Telaga Warna menjadi wahana bermain bagi Monyet. Anak-anak monyet tampak bermain di pohon-pohon kecil sambil makan daun dan buah, dan yang lainnya bermain di atas payung-payung peneduh untuk pengunjung duduk di sekitar Telaga. Sayangnya, penampakan Monyet menggigit botol bekas minuman kemasan untuk membukanya juga bisa ditemukan di sini. Pengelolaan sampah mungkin memerlukan perhatian khusus di wilayah ini, karena adanya risiko penularan penyakit. Satu hal yang disayangkan dalam Summer course ini adalah tidak adanya agenda pengamatan aktivitas primata secara langsung untuk seluruh peserta di Telaga Warna, padahal hal ini penting untuk lebih dalam memahami bagaimana Monyet bersosial, mencari makan, dan potensial konflik dengan manusia serta potensi penyebaran zoonosisnya.  

Setelah kegiatan di Telaga Warna selesai, peserta Summer course bergeser ke Taman Safari Indonesia (TSI). Kegiatan dibuka dengan pembekalan materi oleh Pak Jansen mengenai kegiatan yang telah dilakukan TSI, diantaranya edukasi, breeding dan pelepasliaran. Tujuan kunjungan ke TSI ini adalah untuk berjumpa langsung dengan primata. Primata di TSI ditempatkan pada satu block dan ditempatkan berdasarkan spesiesnya. Di TSI dapat ditemui berbagai jenis primata, mulai dari great ape simpanse dan orangutan, small ape seperti Siamang dan Owa ungko, leaf eating monkey seperti Bekantan dan lutung. Kera ditempatkan pada tempat yang berbeda namun dengan kondisi yang cukup terbuka. Siamang tidak berhenti bersuara dan bergerak saat peserta dengan jumlah lebih dari 20 orang melewatinya. Bagi saya, perilaku ini bukan perilaku alaminya namun sebagai satu tanda stress. Tali yang ditempatkan di kandangnya juga ditambahkan lonceng, saya masih memikirkan apa fungsinya untuk Siamang itu sendiri.  

Jenis leaf eating monkey ditempatkan pada kandang yang memanjang ke bawah dan pemberian makan dilakukan dari atas. Hal ini bagus untuk menstimulasi aktivitas arborealnya, namun monyet ditempatkan pada kandang kaca sehingga dapat melihat spesies lain dengan mudah. Jarak kandang primata satu dan lain yang sangat dekat meningkatkan resiko stress yang dihadapi oleh para primata ini. Kontak yang terlalu dekat dengan pengunjung juga meningkatkan transfer zoonosis dari manusia. Bagi saya, perlu dilakukan kajian lebih lanjut lagi mengenai penempatan primata di masing-masing kandang, assesing tingkat stress primata-primata ini untuk meningkatkan kesejahteraannya.  

Dari kegiatan summer course ini saya memperoleh pengalaman, pengetahuan baru dan updating kondisi terkini primata pada habitat alaminya. Sudut pandang yang lain tentang pemanfaatan primata sebagai satwa dengan perilaku kompleks dan kedekatan hubungan evolusi dengan manusia juga bertambah. Mengetahui primata lebih banyak, membuat manusia seharusnya mulai berpikir tentang sejarah evolusi manusia lebih baik lagi. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *