Yayasan KIARA bersama Universitas Tasmania Mengunjungi Pusat Suaka Satwa Elang Jawa
Narasi: Jasmine Alimah Savitri
Pagi yang cerah mengawali kegiatan kami di hari itu. Tim fasilitator, termasuk saya sendiri, Kak Fauzia, dan Rizka mendampingi kegiatan Kunjungan Mahasiswa Universitas Tasmania (UniTas) ke Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) – Taman Nasional Gunung Halimun Salak pada Kamis, 18 Januari 2024 lalu. Perjalanan tidak begitu jauh, karena dari Bogor kami hanya perlu melalui jalan bebas hambatan (TOL) dan lokasi PSSEJ sekitar 40 menit dari pintu keluar TOL. Sepanjang perjalanan kami banyak berinteraksi, ternyata teman-teman dari UniTas cukup penasaran asal muasal dari nama Gunung Salak, kami juga berbagi cerita mengenai keberadaan satwa di Indonesia terkhusus Bogor dibandingkan dengan satwa yang ada di Australia.
Sampai di titik kumpul, kami bertemu terlebih dahulu dengan rekan-rekan dari Yayasan Bio Konservasi Indonesia sebagai bagian dari pengelola program di PSSEJ. Tiba-tiba saja turun gerimis sehingga mengharuskan kami semua untuk menggunakan jas hujan. Butuh waktu dan usaha untuk sampai ke PSSEJ, karena apa? Kami perlu berjalan terlebih dahulu selama 30 menit melewati kampung, kebun, area perbatasan, hingga sampailah di patung elang yang gagah perkasa.
Agenda dimulai dengan sesi presentasi yang dilaksanakan di Gedung Visitor Center. Sedikit perkenalan Yayasan KIARA lalu dilanjutkan dengan presentasi mengenai pengelolaan PSSEJ dan manajemen rehabilitasi. Sejarah terbentuknya PSSEJ ini dimulai pada tahun 2007, saat itu Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) bersama dengan 12 lembaga (pemerintah, swasta, dan LSM) bergabung dalam perkumpulan SUAKA ELANG untuk membangun Pusat Rehabilitasi dan Konservasi di TNGHS. Pusat rehab ini selanjutnya dikenal dengan nama suaka elang/raptor sanctuary. Kemudian di tahun 2015 melalui keputusan Direktur Jenderal KSDAE suaka elang ditetapkan sebagai PSSEJ dengan otoritas pengelolaan sepenuhnya di bawah TNGHS. Di PSSEJ, terdapat Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berisi prosedur standar mengenai beberapa hal, yaitu 1) penerimaan satwa elang, 2) manajemen kesehatan, 3) biosekuriti dan sanitasi, 4) manajemen kandang, hingga 5) pelepasliaran satwa elang.
Di sesi selanjutnya kami terbagi menjadi tiga kelompok dengan agenda kunjungan fasilitas PSSEJ. Kelompok saya mengunjungi kandang latih terbang terlebih dahulu. Di kandang tersebut terdapat satu individu Elang brontok (Nisaetus cirrhatus) yang teramati sedang bertengger di sebatang kayu. Individu ini terlihat waspada dan kurang menyukai keberadaan manusia. Di kandang tersebut juga terdapat pohon dan rerumputan agar mangsa elang dapat berkeliaran dengan bebas juga sebagai bentuk pengayaan elang dalam berburu mangsanya. Sayangnya saat itu kami tidak bisa menyaksikan aksi perburuannya.
Lokasi berikutnya adalah klinik, sudah ada drh. Septi yang menyambut kami untuk melihat demonstrasi cek kesehatan elang. “Dalam menangani elang, pastikan jari tangan kita menahan bagian kakinya agar cakar tajam elang tidak mengenai kulit kita. Selain itu, elang harus diberikan penutup mata untuk mengurangi tingkat stressnya” ucap beliau. Cek kesehatan diantaranya berupa cek Body Condition Score, cek sayap apakah luka/patah, cek mata, cek hidung dan mulut, dan cek suhu. Beruntung ketika kelompok kami datang, di hari itu ada jadwal pemberian vitamin, jadi kami melihat bagaimana dokter menginjeksikan vitamin ke elang tersebut.
Beralih ke ruang pakan, PSSEJ menerapkan sistem biosekuriti dengan menyiapkan bak berisi cairan desinfektan. Siapapun yang akan masuk ke ruangan harus mencelupkan boots terlebih dahulu, begitu juga saat keluar dari ruangan. Saat itu hanya ada Tikus putih (Rattus norvegicus domestica) di dalam ruangan, sedangkan pakan elang lainnya yang disediakan PSSEJ adalah Marmut (Cavia porcellus). Pemberian pakan disesuaikan dengan kondisi elang dan program diet yang direkomendasikan oleh dokter hewan.
Kandang display menjadi lokasi terakhir kunjungan kelompok kami, di sini ada beberapa individu yang mengalami cacat fisik. Seperti Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) dan Elang ular bido (Spilornis cheela) yang sayapnya patah. Ada juga Elang brontok (Nisaetus cirrhatus) yang mengalami cacat di satu matanya. “PSSEJ memiliki beberapa burung pemangsa dengan kondisi cacat fisik. Hal tersebut membuat sudah tidak bisa dilepasliarkan sehingga harus menghabiskan sisa hidupnya di kandang edukasi/display” ujar Kang Angga, seorang keeper di PSSEJ.
Semoga dengan adanya PSSEJ dan lembaga konservasi eksitu lainnya bisa terus mendukung konservasi insitu baik fauna maupun flora Indonesia. Oh ya berbicara tentang pelepasliaran elang, tim monitoring lapang KIARA juga pernah berpartisipasi dalam pelepasliaran elang Ragil lho! Artikelnya bisa dibaca di sini. Melepasliarkan Ragil di hutan blok Citalahab – Resort Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak – Kiara Indonesia (kiara-indonesia.org)